Dari karya-karya Ronggowarsito, akan kelihatan bahwa pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh kepustakaan Islam kejawen, tradisi dan kepustakaan
Jawa. Pembahasan dan pemikiran
Ronggowarsito, terpusat untuk merumuskan kembali pokok-pokok pemikiran yang
terdapat dalam perbendaharaan kepustakaan Jawa dan Islam kejawen. Sehingga
karya-karya Ronggowarsito pada umumnya mencerminkan perpaduan antara alam
pikiran Jawa dengan ajaran Agama Islam. Karena kehidupan Ronggowarsito dan
pujangga-pujangga Jawa pada umumnya berada dalam kedua lingkungan kebudayaan
tersebut, sesudah zaman kerajaan Jawa-Islam. Walaupun pada hari-hari tuanya
Ronggowarsito banyak bergaul dengan sarjana-sarjana Belanda yang mempunyai
perhatian terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa, seperti dengan C.F. Winter,
Cohen Stuart dan sebagainya. Tetapi, pergaulan ini tidak banyak memberi bekas
dalam pemikiran Ronggowarsito.
Ronggowarsito yang hidup semenjak tahun 1802 sampai tahun 1873,
dengan sendirinya mengalami berbagai macam pergolakan dan perubahan-perubahan suasana
politik dalam lingkungan istana. Setiap
perubahan sikap politik dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial Belanda,
langsung atau tidak langsung pasti mempengaruhi kedudukan pejabat-pejabat
istana.
Karena
melihat korupsi yang terjadi di istana dan masyarakat, serta berbagai tindakan
amoral dan keadaan yang memprihatinkan di masyarakatnya, Ronggowarsito yang
berperan sebagai pujangga istana serta penyambung lidah rakyat kemudian
menuliskan keadaan zamannya tersebut dalam bentuk karya sastra.
Menurut Ronggowarsito, ada tiga macam pembagian zaman. Yakni
zaman edan atau Kalatidha yaitu ditandai dengan adanya pola pikir yang salah.
Hal ini diungkapkan dalam Serat Kalatidha sebagai berikut:
Amenangi jaman edan/ewuh aya ing pambudi/melu edan nora tahan/yen
tan melu anglakoni/boya kaduman melik/kaliren wekasanipun/dilalah karsa
Allah/begja-begjane kang lali/luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya:
Mengalami zaman gila, serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila
tidak tahan, kalau tidak ikut (menggila), tidak (akan) mendapat bagian,
akhirnya (mungkin) kelaparan, (tetapi) takdir kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya (orang) yang lupa, (masih) bahagia yang sadar dan waspada.
Kemudian akan diiukuti oleh Zaman Kalabendu yaitu moralitas
semakin merosot disebabkan oleh pola pikir yang salah. Hal ini terdapat dalam
Serat Sabda Jati sebagai berikut:
Para
janma jaman pakewuh, kasudranira andadi,
daurune
saya ndarung,
keh
tyas mirong murang margi,
kasetyan
wus ora katon.
Orang-orang dalam zaman pakewuh (edan), kerendahan budinya makin
menjadi-jadi, kekacauan bertambah, banyak orang berhati sesat (buruk),
melanggar peraturan yang benar, kesetiaan sudah tiada terlihat.
Yen
kang uning marang sajatining kawruh,
kewuhan
sajroning ati yen tan niru ora arus,
uripe
kaesi-esi,
yen
nirua dadi asor.
Bagi orang yang tahu akan kebenaran, dalam hati terasa ewuh
(bingung), apabila tidak turut berbuat sesat, hidupnya akan menjadi merana,
kalau ikut menjadi rendah budi pekertinya.
Nora ngandel
marang gaibing Hyang Agung,
anggelar
sakalir-kalir,
kalamun
temen tinemu,
kabegjane
anekani,
kemurahaning
Hyang Manon.
Tindakan seperti itu, berarti tak percaya akan kemurahan dan
kekuasaan Tuhan, yang menciptakan segala-galanya. Apabila memohon dengan
bersungguh hati, pasti mendapat anugerah dari kemurahan Tuhan.
Anuhoni
kabeh kang duwe panyuwun,
yen
temen-temen sayekti,
Allah
aparing pitulung,
nora
kurang sandhang bukti,
saciptanira
kalakon.
Tuhan mengabulkan semua permohonan, apabila disertai kesungguhan,
Allah pasti memberi pertolongan, tidak akan kekurangan makan serta pakaian.
Segala yang diingini akan terlaksana.
Lalu kemudian akan muncul Zaman Kalasuba atau zaman keemasan.
Datangnya masa keemasan sebagai akhir kalabendu, terdapat dalam Serat
Jakalodhang, sebagai berikut:
Sangkalane
maksih nunggal jamanipun,
neng
sajroning madya akir,
Wiku
sapta ngesthi ratu,
ngadil
pari marmeng dasih,
ing
kono karsaning Manon.
Ciri waktu pada zaman itu, yakni pada pertengahan, dengan ciri
tahun; wiku sapta ngesthi ratu. Itulah masa keadilan dan kemakmuran yang
merata, demikian kehendak Tuhan.
Tinemune
wong ngantuk anemu kethuk,
malenuk
samargi-margi,
marmane
bungah kang nemu,
marga
jroning kethuk isi,
kancana
sosotya abyor.
Waktu itu orang yang sedang mengantuk, sambil duduk saja mendapat
kethuk (menemukan benda). Kethuk itu terdapat di sepanjang jalan-jalan. Orang
yang mendapat riang-gembira, lantaran di dalamnya berisi emas permata yang
bergemerlapan.
Itulah sekilas pemikiran Ronggowarsito mengenai zaman edan yang
dituangkan dalam beberapa karya sastranya. Di dalam karya tersebut terdapat
banyak sekali ajaran moral yang dapat diterapkan dalam konteks zaman sekarang
ini
0 komentar:
Posting Komentar